Thursday, April 4, 2024

2024 World Press Photo Contest

Kali ini saya tidak menulis artikel, melainkan mengunggah video tentang World Press Photo Contest 2024 dari perspektif juri yang berasal dari berbagai belahan dunia, dengan menampilkan foto-foto yang memenangkan kontes foto tersebut dalam berbagai kategori. Salah satu pemenangnya adalah adalah foto yang berasal dari Indonesia, yaitu "Pollution in the Cileungsi River" oleh Arie Basuki, yang memenangkan kategori Honorable Mention. Cukup membanggakan karena foto ini terpilih dari lebih 61.000 entry.

Video ini diunggah di YouTube oleh World Press Photo Foundation pada tanggal 3 April 2024. 


Inilah para global juri dari World Press Photo Contest 2024: * Africa jury chair: Nii Obodai, Ghana, photographer * Asia acting jury chair: Elyor Nemat, Uzbekistan, documentary photographer, filmmaker, and graphic artist * Europe jury chair: Anastasia Taylor-Lind, United Kingdom/Sweden, photojournalist * North and Central America jury chair: John Minchillo, United States, staff photojournalist, the Associated Press * South America jury chair: Julieta Escardó, Argentina, photographer, editor and educator * Southeast Asia and Oceania jury chair: Veejay Villafranca, Philippines, photographer and lecturer — 📽️ Chapters: 00:00 - Intro 00:18 - Africa 00:58 - Africa, Singles: ‘Returning Home From War’ by Vincent Haiges, Real 21 01:51- Africa, Stories: ‘Valim-babena’ by Lee-Ann Olwage, for GEO 02:37 - Africa, Long-Term Projects: ‘The Escape’ by Zied Ben Romdhane, Magnum Photos, Arab Fund for Arts and Culture, AIM LAB 03:36 - Africa, Open Format: ‘Adrift’ by Felipe Dana and Renata Brito, Associated Press 04:33 - Africa, Honorable Mention: ‘Survivors’ by Arlette Bashizi, for The Washington Post 05:05 - Asia 05:40 - Asia, Singles: ‘A Palestinian Woman Embraces the Body of Her Niece’ by Mohammed Salem, Reuters 06:47 - Asia, Stories: ‘Afghanistan on the Edge’ by Ebrahim Noroozi, Associated Press 07:46 - Asia, Long-Term Projects: ‘I Am Still With You’ by Wang Naigong 08:54 - Asia, Open Format: ‘Heartstrings’ by Kazuhiko Matsumura, for The Kyoto Shimbun 09:39 - Asia, Honorable Mention: ‘The Edge’ by Zishaan A Latif 10:18 - Europe 10:33 - Europe, Singles: ‘A Father’s Pain’ by Adem Altan, Agence France-Presse 11:22 - Europe, Stories: ‘Kakhovka Dam: Flood in a War Zone’ by Johanna Maria Fritz, Ostkreuz, for Die Zeit 12:15 - Europe, Long-Term Projects: ‘No Man’s Land’ by Daniel Chatard 13:15 - Europe, Open Format: ‘War Is Personal’ by Julia Kochetova, 14:29 - Europe, Honorable Mention: ‘Looking for Satyrus’ by Rena Effendi, VII Photo, National Geographic Society 15:14 - North and Central America 15:38 - North and Central America, Singles: ‘A Day in the Life of a Quebec Fire Crew’ by Charles-Frédérick Ouellet, for The Globe and Mail, CALQ 16:12 - North and Central America, Stories: ‘Saving the Monarchs’ by Jaime Rojo, for National Geographic 16:47 - North and Central America, Long-Term Projects: ‘The Two Walls’ by Alejandro Cegarra, The New York Times/Bloomberg 18:06 - North and Central America, Open Format: ‘The Gay Space Agency’ by Mackenzie Calle 19:14 - North and Central America, Honorable Mention: ‘The First Climate Refugees of the United States’ by Sandra Mehl 19:58 - South America 20:31 - South America, Singles: ‘Drought in the Amazon’ by Lalo de Almeida, for Folha de São Paulo 21:16 - South America, Stories: ‘Red Skies, Green Waters’ by Adriana Loureiro Fernandez, for The New York Times 22:12 - South America, Long-Term Projects: ‘Mapuche: The Return of the Ancient Voices’ by Pablo E. Piovano, Greenpeace Award, GEO, National Geographic Society 23:35 - South America, Open Format: ‘Silenced Crimes’ by Marco Garro, Pulitzer Center 24:36 - South America, Honorable Mention: ‘Insurrection’ by Gabriela Biló, for Folha de São Paulo 24:58 - Southeast Asia and Oceania 25:25 - Southeast Asia and Oceania, Singles: ‘Fighting, Not Sinking’ by Eddie Jim, The Age/Sydney Morning Herald 26:08 - Southeast Asia and Oceania, Stories: ‘Battle for Sovereignty’ by Michael Varcas, for The Philippine Star 26:49 - Southeast Asia and Oceania, Long-Term Projects: ‘Revolution in Myanmar’ by Ta Mwe, Sacca Photo, VII Foundation, Frontline Club, W. Eugene Smith Grant 28:12 - Southeast Asia and Oceania, Open Format: ‘A Lost Place’ by Aletheia Casey 29:16 - Southeast Asia and Oceania, Honorable Mention: ‘Pollution in the Cileungsi River’ by Arie Basuki 📸 See all the winning photos and stories: https://www.worldpressphoto.org/

Sunday, November 1, 2020

Surat Terbuka untuk Presiden Jokowi

Yth. Bapak Ir. H. Joko Widodo, Presiden Republik Indonesia.

Saya memberanikan diri menulis surat terbuka ini untuk Bapak Jokowi dengan harapan Bapak sempat membacanya, dan mempertimbangkan beberapa masukan dari saya. Saya adalah pensiunan PNS (ASN), mengambil pensiun dini pada tahun 2000 setelah 19 tahun bekerja dan kemudian bergabung dengan salah satu lembaga internasional, tinggal di Jakarta. Sejak lulus dan bekerja, sampai pensiun sekarang ini, perhatian saya tidak lepas dari masalah air minum. Di bawah kepemimpinan Bapak, infrastruktur jalan tol, pelabuhan laut, bandara dan sarana transportasi lainnya dibangun dimana-mana, tapi masalah air minum masih saja berjalan ditempat dan tertinggal dari infrastruktur lainnya, padahal air minum adalah salah satu kebutuhan dasar manusia, dan bahkan PBB sudah mengakui (acknowledge) bahwa air merupakan hak asasi manusia (Resolusi PBB No 64/292 tahun 2010). 

Menurut data dari Bappenas, pada tahun 2018, akses air minum layak di Indonesia adalah 87,75%, terdiri dari akses perpipaan (20,14%) dan akses non-perpipaan (67,62%), dimana akses amannya adalah 6,8% (Bappenas, 2019). Dari sumber yang sama, target air minum aman pada tahun 2030 adalah 43,15%, sedangkan target akses aman sesuai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) pada tahun 2030 adalah 100%. Akses aman adalah dimana air dapat diminum langsung dengan aman, sesuai Permenkes 492/2010. Ini jelas tantangan yang tidak mudah untuk dicapai, apalagi dengan kondisi infrastruktur air minum, terutama sistem perpipaan, yang selalu menghadapi masalah yang sama dari tahun ke tahun, dari generasi ke generasi. Tanpa ada upaya terobosan yang “out-of-the box”, target-target tersebut akan sulit tercapai. 

Masalah dan kendala dalam pengelolaan air minum sebenarnya sudah banyak diketahui, dan langkah-langkah untuk mengatasinya sudah banyak dilakukan. Sebagai seorang yang sudah mengalami dan melalui beberapa generasi pemerintahan, saya merasakan sendiri betapa tidak mudahnya mengatasi masalah air minum di negeri ini. Rekan-rekan senior saya sejak lama sudah mengangkat isu air minum ini sampai ke tingkat Wapres Adam Malik waktu itu, tapi permasalahannya selalu berputar-putar di situ-situ juga, antara kewenangan daerah sesuai UU 23/2014 dan daerah yang kurang peduli; dari kemampuan daerah yang selalu (mengaku) terbatas sampai banyaknya K/L di pusat yang mengatur masalah air minum. Sebenarnya sudah banyak upaya yang dilakukan pemerintah untuk memperbaiki kondisi per-air minuman, seperti restrukturisasi utang daerah dan PDAM, investasi besar-besaran dari pemerintah pusat dalam rangka tugas konkuren, sampai mobilisasi sumber-sumber dana non publik. Bahkan Wapres Jusuf Kalla pernah mencanangkan program satu juta sambungan rumah, tapi hasilnya belum dirasakan optimal.

Akar permasalahan sektor air minum, khususnya di perkotaan, menurut pendapat saya, adalah jumlah pengelola air minum (BUMD Air Minum/PDAM/KPBU) yang terlalu banyak, karena mengikuti jumlah kabupaten/kota, tapi dengan jumlah pelanggan di masing-masing kabupaten/kota yang sedikit, di bawah ambang batas dimana skalanya terlalu kecil untuk dikelola secara ekonomis (economies-of-scale). Idealnya, jumlah pelanggan minimum secara ekonomis di setiap unit pengelola adalah 50 ribu keatas. Saat ini, sekitar 400an kota/kabupaten memiliki unit pengelola dengan total 10 juta pelanggan. Jumlah kabupaten/kota dengan pelanggan di atas 50 ribu hanya sekitar 36, termasuk beberapa kota besar/metropolitan, dengan jumlah pelanggan di atas 200 ribu, selebihnya memiliki jumlah pelanggan antara di bawah seribu sampai 49 ribu dengan rata-rata 13 ribu pelanggan per kabupaten/kota. Apapun upaya yang dilakukan, berapapun tarif yang akan diberlakukan, secara ekonomis pengelolaan air minum dengan pelanggan seperti itu tidak efisien dan akan selalu merugi. Data dari Kementerian PUPR menunjukan bahwa dari 380 BUMD Air Minum yang dievaluasi kinerjanya pada 2019, yang berkinerja rendah (“sakit” dan “kurang sehat) adalah 41% dan yang “sehat” 59%, meskipun kriteria “sehat”-nya patut dipertanyakan. 

Dengan logika sederhana, sebenarnya jumlah unit pengelola bisa dikurangi tanpa mengurangi kewenangan dan otonomi daerah, yaitu dengan cara penggabungan melalui kerjasama antar daerah, bisa penggabungan pada tingkat provinsi, regional, bahkan pulau atau antar pulau. Misalnya unit pengelola unit Pulau Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, NTB/NTT, Maluku/Maluku Utara dan Papua (Papua dan Papua Barat). Pola-pola kelembagaan ini sudah dilakukan pada perbankan daerah, dengan kepemilikan bersama antara provinsi dan kabupaten/kota. Tabel berikut memperlihatkan jumlah pelanggan di pulau-pulau tersebut (diluar kota besar/metro dengan jumlah pelanggan diatas 200 ribu) pada tahun 2012-2013, saat ini angka-angka tersebut mungkin sudah berubah:

Pulau Sumatera: 1,8 juta (diluar Medan dan Palembang)

Pulau Jawa: 3,8 juta (diluar DKI Jakarta dan Surabaya)

Pulau Kalimantan: 1 juta

Pulau Bali: 400 ribu

NTB dan NTT: 300 ribu

Maluku dan Maluku Utara: 66 ribu

Papua dan Papua Barat: 44 ribu (atas alasan geografis dan politis, barangkali Papua dan Papua Barat tetap memiliki satu unit pengelola, meskipun jumlah pelanggannya di bawah 50 ribu). 

Pola di atas hanya salah satu dari beberapa opsi yang perlu dikembangkan lebih lanjut. Penggabungan dimungkinkan dengan telah terbitnya Permendagri 22/2020 yang mengatur kerjasama daerah dengan daerah lain (KSDD), dimana KSDD yang dilaksanakan oleh 2 (dua) atau lebih Daerah yang berbatasan untuk penyelenggaraan pemerintahan yang memiliki eksternalitas lintas Daerah dan penyediaan layanan publik yang lebih efisien jika dikelola bersama, sifatnya wajib.

Dalam UU Cipta Kerja (versi 1052 halaman) saya mencatat ada dua pasal (Pasal-pasal 19 dan 51) dalam UU Sumber Daya Air yang diubah dalam UU Cipta Kerja, dimana keduanya terkait dengan penerbitan Peraturan pemerintah (PP) tentang ketentuan BUMN/BMUD dalam pengelolaan SDA dan tentang perizinan berusaha untuk penggunaan SDA. Saya berharap kedua PP yang akan diterbitkan tersebut terkait juga dengan upaya pengelolaan air minum yang “out-of-the box”, dan tidak terjebak ego sektor maupun ego kedaerahan yang sempit. Untuk melaksanakannya, saya menyadari hal ini tidak mudah, dan perlu waktu, tapi di bawah kepemimpinan Bapak, saya percaya pembantu-pembantu Bapak dapat menyusun formulasi yang tepat dan berdampak positif bagi perkembangan per-air minuman di Indonesia.

Saya juga percaya bahwa di bawah kepemimpinan Bapak Jokowi tidak ada yang tidak mungkin untuk diperbaiki, sepanjang menyangkut kepentingan rakyat banyak. Di usia yang ke 71 hari ini (31 Oktober 2020), saya hanya bisa mendo’akan semoga Bapak diberikan kesehatan untuk bisa memimpin negeri ini sampai tahun 2024. 

 

Sunday, March 16, 2014

Hegemoni Raksasa Bisnis Air Kemasan: Bagaimana Menghadapinya?

Catatan: Artikel ini sebenarnya diajukan untuk diterbitkan pada majalah ilmiah populer bidang manajemen,bisnis dan akuntansi asuhan Kwik Kian Gie, tapi entah mengapa, sesuai informasi yang saya terima dari Pak Satrio Arismunandar, koordinator penerbitan, majalah tersebut tidak jadi terbit. Saya sendiri sudah lupa kapan saya mengirim artikel tersebut, tapi agar tulisan ini tidak mengendap di laci meja, saya putuskan untuk saya muat disini. Artikel yang sama juga saya muat di blog Kompasiana. Semoga bermanfaat.
Bisnis air kemasan adalah bisnis yang menguntungkan dan saat ini dikuasai oleh perusahaan-perusahaan raksasa. Namun, kini ada alternatif bagi konsumen, ketika muncul bisnis dengan modal relatif kecil, yang menawarkan berbagai peralatan pengolah air agar layak minum dengan harga terjangkau.

            Hari gini, siapa yang tidak minum air kemasan? Semua orang mengonsumsinya, mulai dari tukang becak dan sopir taksi sampai direksi perusahaan dan pejabat pemerintah, yang sedang rapat di ruangan berpendingin udara. Keberadaan air kemasan memang sudah menjadi pemandangan biasa dan wajar. Hampir semua lapisan masyarakat menggunakannya untuk keperluan sehari-hari, baik dalam pertemuan arisan ibu-ibu maupun acara piknik keluarga di kebun binatang. Bahkan di sebagian rumah kita masing-masing, air kemasan selalu siap untuk menghapus dahaga.
            Apanya yang salah dengan minum air kemasan? Tampaknya tidak ada yang salah. Tetapi menurut saya, ada yang tidak beres. Air adalah kebutuhan dasar bagi setiap makhluk hidup. Kita sebagai manusia bisa tidak makan satu sampai dua minggu, tapi tak akan kuat tidak minum dalam beberapa hari. Sekitar 60 persen bobot tubuh manusia terdiri dari cairan, dalam bentuk aliran darah dan cairan dalam otak. Apabila manusia tidak minum dalam beberapa hari, akan terjadi dehidrasi, artinya keseimbangan cairan dalam badan akan terganggu karena air yang keluar lebih banyak dari yang masuk. Akibatnya bisa fatal. Pada tingkat yang sudah sangat berat, dehidrasi bisa berujung pada penurunan kesadaran, koma, hingga berakhir dengan kematian.
            Nah, sebagai kebutuhan dasar, air minum seharusnya mudah didapat dan terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa kecuali. Saat ini air minum memang mudah didapat. Antara lain melalui air kemasan, karena air yang disalurkan perusahaan air minum (PAM) umumnya belum layak minum.
Tapi apakah harganya terjangkau oleh semua orang? Satu botol air kemasan harganya berpuluh-puluh kali lipat harga air minum dari PAM. Untuk satu liter air kemasan yang harganya sekitar tiga ribu rupiah, harga satu meter kubiknya adalah tiga juta rupiah. Bandingkan dengan harga air PAM yang tidak sampai Rp 5.000 per m3. Tapi masyarakat tidak punya pilihan lain, karena air PAM belum layak minum, atau harus dimasak dulu sebelum bisa diminum. Dan, meskipun terasa berat, terpaksa membeli air kemasan atau air isi ulang,yang kualitasnya mungkin meragukan.
Tidak usah membandingkan jauh-jauh. Di negara tetangga Singapura saja, mereka bisa minum air langsung dari keran. Air kemasan mereka beli hanya untuk keperluan tertentu, misalnya, sewaktu dalam perjalanan. Artinya, masyarakat di Singapura punya pilihan. Sedangkan kita, tidak. Itulah masalahnya. Namun, benarkah kita tidak punya pilihan lain? Sebenarnya ada, tapi mungkin belum banyak yang mengetahuinya, atau lebih tepatnya, belum banyak yang menyadarinya.
Hegemoni Para Raksasa
            Tahun 1970-an, pada saat perusahaan air minum kemasan, atau juga sering disebut air mineral, mulai merintis bisnisnya, banyak yang mencibir atau melihatnya dengan sebelah mata. Sekarang situasinya berbeda, air kemasan menjadi booming, apalagi setelah perusahaan tersebut diakuisisi oleh perusahaan ternama dari luar pada 1998. Bisnis ini meraksasa dan memicu perusahaan-perusahaan lain untuk terjun di bisnis sejenis, dan ternyata laris manis di pasaran.
Sekitar 16 tahun yang lalu, penulis pernah membuat kajian singkat tentang bisnis ini. Pada waktu itu (1997), sudah lebih dari seratus perusahaan sejenis yang terdaftar, bahkan ada yang berdomisili di Papua. Sekarang jumlahnya mungkin sudah berlipat-lipat. Kecenderungan yang ada memang demikian. Pengguna air kemasan di dunia ini meningkat dari tahun ke tahun.
Pada 2009, konsumsi air kemasan adalah 13 miliar liter, dan pada tahun berikutnya (2010) menjadi 14,5 miliar liter (Viva News, November 2010). Padahal, air kemasan juga bukan tidak bermasalah. Botol atau wadah plastik yang digunakan air kemasan, apabila terkena sinar matahari cukup lama, misalnya, pada saat diangkut dengan truk terbuka, akan membentuk bahan kimia Bisphenol A yang berbahaya bagi kesehatan.
Bisnis air kemasan memang menggiurkan. Cukup dengan modal Rp 200-300 juta untuk membeli peralatan pengolah air dengan proses ultrafiltrasi atau reverse osmosis, apabila bisa mempertahankan margin sebesar Rp 500 saja per dus untuk penjualan 1.000 dus sehari, seorang pemodal bisa mengharapkan modalnya kembali dalam waktu kurang dari setahun. Bisa dibayangkan besarnya keuntungan yang diperoleh para pemodal besar dan perusahaan raksasa yang menguasai bisnis air di Indonesia. Dan yang lebih menyakitkan, sebagian besar dari keuntungan itu mengalir ke kantong-kantong pengusaha dari luar negeri.
Lengkap sudah penderitaan kita. Masyarakat yang tinggal di tempat kelahirannya sendiri, di mana airnya dikenal banyak melimpah ruah, tetapi terpaksa mati kehausan karena tidak mampu membeli air yang layak minum. Pertanyaannya, apakah tepat apabila komoditas yang menjadi hajat hidup rakyat banyak, dan bahkan menentukan hidup dan matinya seseorang, dikelola secara bisnis murni? Rasanya kok tidak, tapi kita sendiri tidak sanggup menghadapinya, apalagi melawannya.
            Perkembangan yang terjadi akhir-akhir ini cukup menarik untuk diamati. Daripada menjual air dalam botol, apakah tidak sebaiknya menjual alat yang bisa menghasilkan air dengan kualitas yang sama, dengan sumber yang ada di sekitar kita? Inilah yang dilakukan beberapa pemodal yang jeli melihat peluang. Dimulai dari jenis yang canggih, dengan harga belasan sampai puluhan juta rupiah, sekarang sudah ada alat yang harganya di bawah satu juta rupiah. Tapi tetap saja masih dirasakan mahal bagi sebagian besar masyarakat, terutama apabila pengguna harus mengganti catridge secara berkala dengan harga yang tidak murah juga.
            Berangkat dari pemikiran bahwa air adalah kebutuhan dasar manusia untuk mempertahankan hidupnya dan memelihara kesehatannya, penulis berpendapat, air minum mestinya harus mudah didapat dan terjangkau oleh masyarakat dari semua lapisan, termasuk masyarakat yang kurang  mampu sekalipun. Hal ini karena sebagaimana diputuskan dalam konvensi Sidang Umum PBB pada 28 Juli 2010, air merupakan hak asasi manusia.
Idealnya, air yang dikelola dan didistribusikan oleh perusahaan-perusahaan milik daerah itulah yang mestinya menjadi pilihan. Tapi dari lebih 400 perusahaan daerah yang tersebar di 33 provinsi, termasuk perusahaan-perusahaan yang dikelola swasta dalam/luar negeri melalui kerjasama pemerintah dan swasta (KPS), yang memiliki reputasi bagus dalam pelayanan air minum kepada masyarakat kurang dari jumlah jari tangan.
Dari jumlah yang sedikit itu, tidak ada satu pun yang berani menyatakan bahwa air yang dihasilkannya dapat langsung diminum di rumah masing-masing pelanggan. Dan stigma yang sudah kuat melekat sebagai pengelola jasa pelayanan yang buruk, sangat sulit untuk dihilangkan. Dengan setumpuk masalah utang dan kebocoran yang tinggi, serta cakupan pelayanan yang masih terbatas, pengelola jasa pelayanan masyarakat ini dibuat tidak berdaya. Inilah kenyataan pahit yang mau tidak mau harus kita hadapi.
Penggunaan Saringan Keramik
Sampai kapan kita harus menunggu hingga perusahaan-perusahaan milik daerah itu menjadi lebih baik kinerjanya untuk bisa memproduksi dan mendistribusikan air layak minum? Sanggupkah kita menunggu sementara kerongkongan kita mengering kehausan? Tentu tidak. Kita harus berbuat sesuatu. Hegemoni raksasa bisnis air kemasan ini harus kita lawan. Tidak secara frontal tentu saja, tapi dengan membangun kesadaran bahwa air adalah kebutuhan dasar yang telah menjadi hak asasi manusia, dan seharusnya tidak dikomersialkan.
Sebenarnya kita punya pilihan lain selain menggunakan air kemasan. Salah satu pilihan yang sedang penulis gagas dan tekuni adalah penggunaan saringan keramik sebagai alat pengolah air tingkat rumah tangga, atau yang oleh kalangan akademisi dan para peneliti dikenal sebagai point-of-use treatment.     
Sejak 2008, penulis mulai mempelajari, meneliti dan kemudian mencoba memproduksi saringan keramik. Ternyata tidak terlalu sulit untuk membuatnya. Saringan keramik adalah teknologi pengolahan air yang sudah dikenal sejak lama. Tahun 1827, Henry Doulton, pewaris pabrik keramik dari ayah dan kakek buyutnya mencoba membuat saringan yang terbuat dari lempung untuk mengolah air sungai Thames di London yang tercemar berat. Ternyata hasilnya sangat menggembirakan. Saringan keramik buatannya bisa menghilangkan bakteri penyebab penyakit perut dengan efisiensi penghilangan sebesar 99,88%.
Sejak Dr. Fernando Mazariegos dari Guatemala membuat versi yang lebih sederhana pada 1981, saringan keramik kemudian dikenal sebagai teknologi yang tepat guna, dan banyak digunakan di negara-negara berkembang. Perintis saringan keramik di negara-negara berkembang di Asia, Afrika, dan Amerika Latin di antaranya adalah Ron Rivera dari Potter for Peace (PfP) dan Mickey Sampson dari Resource Development International – Cambodia (RDIC). Lembaga internasional non-pemerintah yang sampai saat ini aktif dalam mempromosikan saringan keramik antara lain adalah Potter Without Border (PwB) yang berkedudukan di Kanada.
             Lempung dan sekam padi adalah bahan dasar untuk membuat saringan keramik. Lempung banyak terdapat di Indonesia, demikian pula halnya dengan sekam padi. Semuanya ada di sini. Dengan sedikit sentuhan teknologi, serta ketekunan dalam melakukan uji coba, saringan keramik bisa dibuat oleh siapa saja. Dengan menggunakan rancangan dari RDIC, penulis membuat saringan keramik pada tahun 2008.
Dari pengalaman penulis memproduksi saringan keramik, diperlukan modal dasar sekitar Rp 200 sampai 250 juta untuk membuat pabriknya. Saringan keramik yang penulis produksi dijual dengan harga Rp 150 ribu untuk tipe Basic, dan Rp 250 ribu untuk tipe Superior. Dengan marjin sebesar Rp 50 – 100 ribu per unit untuk penjualan 500 unit per bulan, modal sudah bisa kembali dalam beberapa tahun saja.
Dari perhitungan di atas kertas, bisnis ini memang tampak menarik, tapi bukan berarti tanpa kendala. Kendala yang pertama dan paling utama adalah kepercayaan masyarakat terhadap produk dalam negeri. Dengan menggunakan bahan lokal dan teknologi tepat guna, serta dengan harganya yang relatif murah, masyarakat masih belum terlalu percaya bahwa alat sederhana ini, tanpa menggunakan listrik dan tanpa media penyaring, ternyata bisa menghasilkan air layak minum. Kendala ini mestinya bisa diatasi dengan memperkenalkan produk, dengan segala kelebihan (dan kekurangannya), kepada masyarakat luas.
Penulis merasa bersyukur dan berterimakasih kepada Yayasan Inovasi Teknologi (Inotek – www.inotek.org), karena dengan bantuan hibah yang mereka telah berikan, produk saringan keramik, yang penulis beri nama Tirta Cupumanik (TCM) sudah mulai dikenal orang, meskipun masih terbatas di Jakarta dan sekitarnya.
Kendala yang kedua adalah masalah pengangkutan. Saringan ini terbuat dari keramik yang rentan pecah dan rawan untuk dikirim ke tempat yang jauh. Untuk mengatasi kendala ini, franchising merupakan cara yang paling tepat. Dengan sistem franchising, pemodal di daerah yang memiliki potensi lempung dapat membuat pabriknya di tempat, dengan sistem bagi hasil. Pemodal akan mendapatkan teknologi yang diperlukan, dengan membayar  fee yang didapatkan dari marjin keuntungan. Bantuan teknologi diperlukan untuk menjaga kualitas produk yang dihasilkan. Penyebaran produk pembuatan saringan keramik juga akan menghidupkan sentra-sentra keramik di daerah yang pada akhirnya akan menyerap tenaga kerja setempat.
Tidak bisa dipungkiri, dengan adanya saringan keramik ini, pihak-pihak yang sudah membuka bisnis air kemasan di beberapa daerah akan merasa terganggu dan tersaingi. Tapi kita serahkan saja kepada pasar, mudah-mudahan sebagian dari mereka ada yang tertarik dan berpindah ke bisnis saringan keramik. Pembuatan saringan keramik sebagai teknologi tepat guna merupakan public domain yang termasuk dalam paten sederhana. Yang diperlukan kedepan adalah adanya Standar Nasional Indonesia (SNI) dalam pembuatan saringan keramik, agar produknya dapat dipertanggungjawabkan secara teknis.
Tahun 2013 adalah tahun kelima sejak penulis memulai gagasan pembuatan saringan keramik TCM. Dengan produksi yang masih terbatas (sekitar 100 unit per bulan), saringan keramik TCM sudah digunakan di beberapa tempat di Jakarta dan sekitarnya, serta secara terbatas di beberapa kota di Jawa Tengah, Bali, Sumatera Barat dan NTT.
Saringan keramik sebagai alat pengolah air tingkat rumah tangga merupakan langkah kecil menghadapi hegemoni raksasa bisnis air kemasan. Diharapkan langkah kecil ini bisa menjadi langkah awal untuk satu lompatan besar ke depan, sehingga lebih banyak lagi masyarakat yang bisa memenuhi rasa dahaganya dengan cara yang mudah dan terjangkau, dan tidak lagi tergantung pada air kemasan atau air isi ulang. ***

Risyana (Ris) Sukarma, Ketua Umum Yayasan Tirta Indonesia Mandiri, penggagas dan penggiat saringan keramik untuk pengolahan air tingkat rumah tangga (rissukarma@yahoo.com). Mengelola situs: www.tirtacupumanik.com.





Sunday, October 27, 2013

Solzhenitsyn

Alexandr Solzhenitsyn, 1974 (Wikipedia)

Sewaktu jalan-jalan di Rotterdam, bulan Maret 1980, saya menemukan sebuah buku yang isinya merupakan catatan bergambar (pictorial record) Solzhenitsyn, seorang penulis Rusia pemenang hadiah Nobel bidang Literatur tahun 1970. 

Solzhenitsyn, atau nama lengkapnya Alexandr Isayevich Solzhenitsyn, lahir di Kislovodsk (sekarang namanya Stravopol) di Rusia pada 11 Desember 1918 dan meninggal 3 Agustus 2008. Semasa hidupnya dia dikenal sebagai pengkritik kebijakan totalitarianisme komunis yang tidak kenal lelah. Melalui buku-bukunya, antara lain The Gulag Archipelago dan One Day in the Life of Ivan Denisovich, dia memperkenalkan kepada dunia sistem gulag dan kamp kerja paksa. Gulag adalah agen pemerintah Rusia (pada waktu itu masih bernama Uni Sovyet) pada era Stalin, yang menerapkan sistem kamp kerja paksa di seluruh negeri. Karena kritik-kritiknya pada pemerintahan Stalin waktu itu, melalui korespondensi dengan temannya, dia ditangkap dan dimasukkan dalam kamp kerja paksa selam delapan tahun.

Buku bersampul merah yang saya temukan di Rotterdam 33 tahun yang lalu itu baru-baru ini saya baca kembali. Buku ini merupakan catatan pribadi tentang kehidupannya semasa kecil dan pengalamannya saat ditangkap dan masuk kamp kerja paksa, serta tentang buku-bukunya. Ayahnya meninggal setengah tahun sebelum dia lahir, dan dia dibesarkan oleh ibunya dalam keadaan yang sangat sederhana. Sejak kecil dia memang bercita-cita untuk menjadi penulis. Sewaktu berumur tigapuluhan, tidak ada satupun tulisan-tulisannya yang diterima oleh penerbit manapun.

Yang menarik, sewktu dia ditangkap oleh atasannya (waktu itu dia diangkat sebagai komandan artileri, berpangkat kapten, setelah melalui kursus singkat artileri bulan November 1942), dia malah diberi selamat, sesuatu hal yang menurut dia sangat janggal, karena ucapan selamat kepada "musuhnya". "I wish you happiness, Captain!" kata atasannya. Pada saat di dalam kamp itulah dia mulai menulis dan membuat puisi, semuanya berisi kritikan pada pemerintahan komunis yang menurut dia sangat totaliter.

Dia dibebaskan dari kamp pada tahun 1956 dan menjadi pengajar di sekolah menengah pada siang hari, dan menyelesaikan tulisan-tulisannya, secara diam-diam, di malam hari. Pada waktu penerimaan hadiah Nobel, dia mengatakan "selama bertahun-tahun sampai tahun 1961, tidak saja saya yakin bahwa saya tidak akan melihat satu barispun dari tulisan saya akan dicetak, tapi juga, saya jarang berani membolehkan teman-teman dekat saya membaca tulisan-tulisan saya karena saya takut akan ketahuan". 

Meskipun dia sudah bebas, tidak mudah baginya untuk menerbitkan tulisan-tulisannya, karena Union Writers tidak menyetujuinya. Pada tahun 1964, setelah Krushchev tidak lagi memimpin, suasana represif kembali terasa, penerbitan karya-karya Solzhenitsyn berhenti, dan sebagai penulis, dia dianggap non-person, warganegara yang kehilangan status sosial. KGB menyita semua tulisan-tulisannya, dan ini membuatnya sangat menderita dan ketakutan. Baru pada tahun 1969, setelah Union Writers membebaskan semua tulisan-tulisannya untuk dipublikasikan, dia bisa merasa lega. Tahun 1970 dia mendapat hadiah Nobel, tapi dia tidak bisa menerimanya sendiri karena dia takut tidak bisa kembali ke Uni Sovyet. Baru pada tahun 1974 dia menerima langsung hadiahnya pada upacara di Stockholm, setelah dia dikeluarkan dari Uni Sovyet. Sozhenitsyn tidak pernah luput dari ancaman, tahun 1971 KBG pernah mencoba membunuhnya dengan racun, tapi tidak berhasil.  

Setelah membaca buku tentang kehidupan Solzhenitsyn yang saya beli 33 tahun yang lalu, saya jadi tertarik untuk membaca hasil karyanya. Saya menemukan Gulag Archipelago di tautan berikut: http://www.thechristianidentityforum.net/downloads/Gulag1.pdfsilakan bagi yang juga tertarik untuk membacanya, cuma bukunya cukup tebal, sekitar 600an halaman.

Can you speak bahasa, sir?

Can you speak bahasa, sir?

Mula-saya agak bingung mendengar pertanyaan seorang kawan pada rekan mitra kerjanya dari luar negeri dalam salah satu pertemuan. Setelah beberapa saat saya baru mengerti, yang dimaksudkan kawan saya itu, apakah mitra kerjanya bisa berbahasa dalam bahasa Indonesia.

Saya sering mendengar orang-orang menyebutkan bahasa Indonesia dengan “bahasa” saja, terutama dalam percakapan dengan orang asing dengan menggunakan bahasa Inggeris, padahal itu dalam bahasa Inggeris artinya language. Jadi kalau ada orang bule yang bicara pada saya “sorry, I cannot speak bahasa”, saya biasanya balas tanya “which bahasa, Turks, Arabic or German? Sorry, I cannot speak those bahasa too”.

Menyingkat bahasa Indonesia dengan “bahasa” saja menurut saya salah kaprah dan campur aduk. Menurut saya, Bahasa Indonesia seharusnya diterjemahkan dalam bahasa Inggeris menjadi Indonesian, sama seperti English untuk bahasa Inggeris, atau Malay untuk Bahasa Melayu/Malaysia, atau German untuk bahasa Jerman. Kebiasaan menggunakan kata “bahasa” untuk bahasa Indonesia, saya kira dimulai dengan orang kita yang berkomunikasi dengan orang asing dalam bahasa Inggeris, dan ini ditiru oleh mereka. Sewaktu bertemu dengan teman lama orang Itali, yang sudah lama tidak jumpa, dia bilang: “sorry I forgot the name of your language, if not mistaken it is called bahasa”, right? Saya langsung jawab: “No, our language is not bahasa, our language is Indonesian”.

Penggunaan istilah “bahasa” untuk bahasa Indonesia bahkan saya temukan dalam dokumen resmi. Dalam salah satu seminar internasional, dimana saya menjadi salah seorang pembicara, lembar isian untuk mengisi biodata antara lain berisi data tentang kemampuan berbahasa. Dalam lembar isian tersebut antara lain tertulis: “Ability to speak, read and write bahasa”. Menurut saya pertanyaan itu belum lengkap karena tidak disebutkan bahasa apa. 


Mulai sekarang, marilah kita menggunakan bahasa Inggeris dengan baik dan benar, sebagaimana kita menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, sesuai konteks dan tidak campur aduk. Apabila kita bertemu dan berkenalan dengan orang dari luar Indonesia, tanyakanlah kepada mereka:  “can you speak Indonesian, sir/madam?” Bagi mereka yang belum tahu bahasa Indonesia, katakanlah kepada mereka dengan bangga: “our language is Indonesian, you should learn Indonesian, and you will find a warm welcome from Indonesian people wherever you go in Indonesia”.

Purwakarta, Minggu pagi, 27 Oktober 2013.

Saturday, October 12, 2013

Jiwa Pejuang

Jangan bayangkan jiwa pejuang itu hanya dimiliki oleh orang-orang tua atau kakek kita yang memanggul bedil memperjuangkan bebasnya bangsa kita dari belenggu penjajah pada jaman kemerdekaan dulu. Jiwa pejuang mestinya juga kita miliki sekarang ini, meskipun kita sudah jauh meninggalkan jaman itu. 

Jiwa pejuang adalah jiwa tanpa pamrih, jiwa ingin berbuat sesuatu untuk negeri ini tanpa terlalu memikirkan apa yang akan didapatkan dari negeri ini. Saya jadi teringat kata-kata mendiang Presiden F. Kennedy: "don't ask what your country can do for you, but ask what you can do for your country". Kata-kata ini selalu diulang-ulang oleh ayah saya untuk mengingatkan agar saya selalu hidup jujur dan lurus.  

Bagaimana keadaannya sekarang? Rasanya jauh panggang dari api. Para pejabat sekarang berlomba-lomba mengumpulkan dan menumpuk kekayaan untuk dirinya sendiri dan keluarganya, serta keturunannya, entah untuk sampai keturunan keberapa. Tapi, apakah yang sudah mereka perbuat untuk negeri ini? Para pengelenggara negara kelihatannya bekerja super sibuk, para wakil rakyat bersidang sampai larut malam, bahkan sambil adu urat leher. Mereka juga bolak-balik berangkat haji dan umrah, dan membagi-bagikan zakat. 

Tapi pada saat yang sama kita mendengar berita tertangkap tangannya orang-orang penting di negeri ini. Orang-orang yang memegang jabatan kunci, bahkan pengawal keadilan. Mereka menumpuk kekayaan yang banyaknya bahkan tidak mampu kita bayangkan. Ada yang punya sembilan mobil mewah yang harga per unitnya bisa belasan milyar rupiah. Bahkan ada bungkusan uang dolar dan rupiah berjumlah milyaran yang ditemukan dalam ember di kamar mandi!

Saya jadi bertanya-tanya, apa yang tersisa dalam lubuk hati orang-orang tersebut. Jangankan jiwa pejuang, hatipun jangan-jangan sudah tidak mereka miliki.