Sunday, October 27, 2013

Solzhenitsyn

Alexandr Solzhenitsyn, 1974 (Wikipedia)

Sewaktu jalan-jalan di Rotterdam, bulan Maret 1980, saya menemukan sebuah buku yang isinya merupakan catatan bergambar (pictorial record) Solzhenitsyn, seorang penulis Rusia pemenang hadiah Nobel bidang Literatur tahun 1970. 

Solzhenitsyn, atau nama lengkapnya Alexandr Isayevich Solzhenitsyn, lahir di Kislovodsk (sekarang namanya Stravopol) di Rusia pada 11 Desember 1918 dan meninggal 3 Agustus 2008. Semasa hidupnya dia dikenal sebagai pengkritik kebijakan totalitarianisme komunis yang tidak kenal lelah. Melalui buku-bukunya, antara lain The Gulag Archipelago dan One Day in the Life of Ivan Denisovich, dia memperkenalkan kepada dunia sistem gulag dan kamp kerja paksa. Gulag adalah agen pemerintah Rusia (pada waktu itu masih bernama Uni Sovyet) pada era Stalin, yang menerapkan sistem kamp kerja paksa di seluruh negeri. Karena kritik-kritiknya pada pemerintahan Stalin waktu itu, melalui korespondensi dengan temannya, dia ditangkap dan dimasukkan dalam kamp kerja paksa selam delapan tahun.

Buku bersampul merah yang saya temukan di Rotterdam 33 tahun yang lalu itu baru-baru ini saya baca kembali. Buku ini merupakan catatan pribadi tentang kehidupannya semasa kecil dan pengalamannya saat ditangkap dan masuk kamp kerja paksa, serta tentang buku-bukunya. Ayahnya meninggal setengah tahun sebelum dia lahir, dan dia dibesarkan oleh ibunya dalam keadaan yang sangat sederhana. Sejak kecil dia memang bercita-cita untuk menjadi penulis. Sewaktu berumur tigapuluhan, tidak ada satupun tulisan-tulisannya yang diterima oleh penerbit manapun.

Yang menarik, sewktu dia ditangkap oleh atasannya (waktu itu dia diangkat sebagai komandan artileri, berpangkat kapten, setelah melalui kursus singkat artileri bulan November 1942), dia malah diberi selamat, sesuatu hal yang menurut dia sangat janggal, karena ucapan selamat kepada "musuhnya". "I wish you happiness, Captain!" kata atasannya. Pada saat di dalam kamp itulah dia mulai menulis dan membuat puisi, semuanya berisi kritikan pada pemerintahan komunis yang menurut dia sangat totaliter.

Dia dibebaskan dari kamp pada tahun 1956 dan menjadi pengajar di sekolah menengah pada siang hari, dan menyelesaikan tulisan-tulisannya, secara diam-diam, di malam hari. Pada waktu penerimaan hadiah Nobel, dia mengatakan "selama bertahun-tahun sampai tahun 1961, tidak saja saya yakin bahwa saya tidak akan melihat satu barispun dari tulisan saya akan dicetak, tapi juga, saya jarang berani membolehkan teman-teman dekat saya membaca tulisan-tulisan saya karena saya takut akan ketahuan". 

Meskipun dia sudah bebas, tidak mudah baginya untuk menerbitkan tulisan-tulisannya, karena Union Writers tidak menyetujuinya. Pada tahun 1964, setelah Krushchev tidak lagi memimpin, suasana represif kembali terasa, penerbitan karya-karya Solzhenitsyn berhenti, dan sebagai penulis, dia dianggap non-person, warganegara yang kehilangan status sosial. KGB menyita semua tulisan-tulisannya, dan ini membuatnya sangat menderita dan ketakutan. Baru pada tahun 1969, setelah Union Writers membebaskan semua tulisan-tulisannya untuk dipublikasikan, dia bisa merasa lega. Tahun 1970 dia mendapat hadiah Nobel, tapi dia tidak bisa menerimanya sendiri karena dia takut tidak bisa kembali ke Uni Sovyet. Baru pada tahun 1974 dia menerima langsung hadiahnya pada upacara di Stockholm, setelah dia dikeluarkan dari Uni Sovyet. Sozhenitsyn tidak pernah luput dari ancaman, tahun 1971 KBG pernah mencoba membunuhnya dengan racun, tapi tidak berhasil.  

Setelah membaca buku tentang kehidupan Solzhenitsyn yang saya beli 33 tahun yang lalu, saya jadi tertarik untuk membaca hasil karyanya. Saya menemukan Gulag Archipelago di tautan berikut: http://www.thechristianidentityforum.net/downloads/Gulag1.pdfsilakan bagi yang juga tertarik untuk membacanya, cuma bukunya cukup tebal, sekitar 600an halaman.

Can you speak bahasa, sir?

Can you speak bahasa, sir?

Mula-saya agak bingung mendengar pertanyaan seorang kawan pada rekan mitra kerjanya dari luar negeri dalam salah satu pertemuan. Setelah beberapa saat saya baru mengerti, yang dimaksudkan kawan saya itu, apakah mitra kerjanya bisa berbahasa dalam bahasa Indonesia.

Saya sering mendengar orang-orang menyebutkan bahasa Indonesia dengan “bahasa” saja, terutama dalam percakapan dengan orang asing dengan menggunakan bahasa Inggeris, padahal itu dalam bahasa Inggeris artinya language. Jadi kalau ada orang bule yang bicara pada saya “sorry, I cannot speak bahasa”, saya biasanya balas tanya “which bahasa, Turks, Arabic or German? Sorry, I cannot speak those bahasa too”.

Menyingkat bahasa Indonesia dengan “bahasa” saja menurut saya salah kaprah dan campur aduk. Menurut saya, Bahasa Indonesia seharusnya diterjemahkan dalam bahasa Inggeris menjadi Indonesian, sama seperti English untuk bahasa Inggeris, atau Malay untuk Bahasa Melayu/Malaysia, atau German untuk bahasa Jerman. Kebiasaan menggunakan kata “bahasa” untuk bahasa Indonesia, saya kira dimulai dengan orang kita yang berkomunikasi dengan orang asing dalam bahasa Inggeris, dan ini ditiru oleh mereka. Sewaktu bertemu dengan teman lama orang Itali, yang sudah lama tidak jumpa, dia bilang: “sorry I forgot the name of your language, if not mistaken it is called bahasa”, right? Saya langsung jawab: “No, our language is not bahasa, our language is Indonesian”.

Penggunaan istilah “bahasa” untuk bahasa Indonesia bahkan saya temukan dalam dokumen resmi. Dalam salah satu seminar internasional, dimana saya menjadi salah seorang pembicara, lembar isian untuk mengisi biodata antara lain berisi data tentang kemampuan berbahasa. Dalam lembar isian tersebut antara lain tertulis: “Ability to speak, read and write bahasa”. Menurut saya pertanyaan itu belum lengkap karena tidak disebutkan bahasa apa. 


Mulai sekarang, marilah kita menggunakan bahasa Inggeris dengan baik dan benar, sebagaimana kita menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, sesuai konteks dan tidak campur aduk. Apabila kita bertemu dan berkenalan dengan orang dari luar Indonesia, tanyakanlah kepada mereka:  “can you speak Indonesian, sir/madam?” Bagi mereka yang belum tahu bahasa Indonesia, katakanlah kepada mereka dengan bangga: “our language is Indonesian, you should learn Indonesian, and you will find a warm welcome from Indonesian people wherever you go in Indonesia”.

Purwakarta, Minggu pagi, 27 Oktober 2013.

Saturday, October 12, 2013

Jiwa Pejuang

Jangan bayangkan jiwa pejuang itu hanya dimiliki oleh orang-orang tua atau kakek kita yang memanggul bedil memperjuangkan bebasnya bangsa kita dari belenggu penjajah pada jaman kemerdekaan dulu. Jiwa pejuang mestinya juga kita miliki sekarang ini, meskipun kita sudah jauh meninggalkan jaman itu. 

Jiwa pejuang adalah jiwa tanpa pamrih, jiwa ingin berbuat sesuatu untuk negeri ini tanpa terlalu memikirkan apa yang akan didapatkan dari negeri ini. Saya jadi teringat kata-kata mendiang Presiden F. Kennedy: "don't ask what your country can do for you, but ask what you can do for your country". Kata-kata ini selalu diulang-ulang oleh ayah saya untuk mengingatkan agar saya selalu hidup jujur dan lurus.  

Bagaimana keadaannya sekarang? Rasanya jauh panggang dari api. Para pejabat sekarang berlomba-lomba mengumpulkan dan menumpuk kekayaan untuk dirinya sendiri dan keluarganya, serta keturunannya, entah untuk sampai keturunan keberapa. Tapi, apakah yang sudah mereka perbuat untuk negeri ini? Para pengelenggara negara kelihatannya bekerja super sibuk, para wakil rakyat bersidang sampai larut malam, bahkan sambil adu urat leher. Mereka juga bolak-balik berangkat haji dan umrah, dan membagi-bagikan zakat. 

Tapi pada saat yang sama kita mendengar berita tertangkap tangannya orang-orang penting di negeri ini. Orang-orang yang memegang jabatan kunci, bahkan pengawal keadilan. Mereka menumpuk kekayaan yang banyaknya bahkan tidak mampu kita bayangkan. Ada yang punya sembilan mobil mewah yang harga per unitnya bisa belasan milyar rupiah. Bahkan ada bungkusan uang dolar dan rupiah berjumlah milyaran yang ditemukan dalam ember di kamar mandi!

Saya jadi bertanya-tanya, apa yang tersisa dalam lubuk hati orang-orang tersebut. Jangankan jiwa pejuang, hatipun jangan-jangan sudah tidak mereka miliki.