Sunday, March 16, 2014

Hegemoni Raksasa Bisnis Air Kemasan: Bagaimana Menghadapinya?

Catatan: Artikel ini sebenarnya diajukan untuk diterbitkan pada majalah ilmiah populer bidang manajemen,bisnis dan akuntansi asuhan Kwik Kian Gie, tapi entah mengapa, sesuai informasi yang saya terima dari Pak Satrio Arismunandar, koordinator penerbitan, majalah tersebut tidak jadi terbit. Saya sendiri sudah lupa kapan saya mengirim artikel tersebut, tapi agar tulisan ini tidak mengendap di laci meja, saya putuskan untuk saya muat disini. Artikel yang sama juga saya muat di blog Kompasiana. Semoga bermanfaat.
Bisnis air kemasan adalah bisnis yang menguntungkan dan saat ini dikuasai oleh perusahaan-perusahaan raksasa. Namun, kini ada alternatif bagi konsumen, ketika muncul bisnis dengan modal relatif kecil, yang menawarkan berbagai peralatan pengolah air agar layak minum dengan harga terjangkau.

            Hari gini, siapa yang tidak minum air kemasan? Semua orang mengonsumsinya, mulai dari tukang becak dan sopir taksi sampai direksi perusahaan dan pejabat pemerintah, yang sedang rapat di ruangan berpendingin udara. Keberadaan air kemasan memang sudah menjadi pemandangan biasa dan wajar. Hampir semua lapisan masyarakat menggunakannya untuk keperluan sehari-hari, baik dalam pertemuan arisan ibu-ibu maupun acara piknik keluarga di kebun binatang. Bahkan di sebagian rumah kita masing-masing, air kemasan selalu siap untuk menghapus dahaga.
            Apanya yang salah dengan minum air kemasan? Tampaknya tidak ada yang salah. Tetapi menurut saya, ada yang tidak beres. Air adalah kebutuhan dasar bagi setiap makhluk hidup. Kita sebagai manusia bisa tidak makan satu sampai dua minggu, tapi tak akan kuat tidak minum dalam beberapa hari. Sekitar 60 persen bobot tubuh manusia terdiri dari cairan, dalam bentuk aliran darah dan cairan dalam otak. Apabila manusia tidak minum dalam beberapa hari, akan terjadi dehidrasi, artinya keseimbangan cairan dalam badan akan terganggu karena air yang keluar lebih banyak dari yang masuk. Akibatnya bisa fatal. Pada tingkat yang sudah sangat berat, dehidrasi bisa berujung pada penurunan kesadaran, koma, hingga berakhir dengan kematian.
            Nah, sebagai kebutuhan dasar, air minum seharusnya mudah didapat dan terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa kecuali. Saat ini air minum memang mudah didapat. Antara lain melalui air kemasan, karena air yang disalurkan perusahaan air minum (PAM) umumnya belum layak minum.
Tapi apakah harganya terjangkau oleh semua orang? Satu botol air kemasan harganya berpuluh-puluh kali lipat harga air minum dari PAM. Untuk satu liter air kemasan yang harganya sekitar tiga ribu rupiah, harga satu meter kubiknya adalah tiga juta rupiah. Bandingkan dengan harga air PAM yang tidak sampai Rp 5.000 per m3. Tapi masyarakat tidak punya pilihan lain, karena air PAM belum layak minum, atau harus dimasak dulu sebelum bisa diminum. Dan, meskipun terasa berat, terpaksa membeli air kemasan atau air isi ulang,yang kualitasnya mungkin meragukan.
Tidak usah membandingkan jauh-jauh. Di negara tetangga Singapura saja, mereka bisa minum air langsung dari keran. Air kemasan mereka beli hanya untuk keperluan tertentu, misalnya, sewaktu dalam perjalanan. Artinya, masyarakat di Singapura punya pilihan. Sedangkan kita, tidak. Itulah masalahnya. Namun, benarkah kita tidak punya pilihan lain? Sebenarnya ada, tapi mungkin belum banyak yang mengetahuinya, atau lebih tepatnya, belum banyak yang menyadarinya.
Hegemoni Para Raksasa
            Tahun 1970-an, pada saat perusahaan air minum kemasan, atau juga sering disebut air mineral, mulai merintis bisnisnya, banyak yang mencibir atau melihatnya dengan sebelah mata. Sekarang situasinya berbeda, air kemasan menjadi booming, apalagi setelah perusahaan tersebut diakuisisi oleh perusahaan ternama dari luar pada 1998. Bisnis ini meraksasa dan memicu perusahaan-perusahaan lain untuk terjun di bisnis sejenis, dan ternyata laris manis di pasaran.
Sekitar 16 tahun yang lalu, penulis pernah membuat kajian singkat tentang bisnis ini. Pada waktu itu (1997), sudah lebih dari seratus perusahaan sejenis yang terdaftar, bahkan ada yang berdomisili di Papua. Sekarang jumlahnya mungkin sudah berlipat-lipat. Kecenderungan yang ada memang demikian. Pengguna air kemasan di dunia ini meningkat dari tahun ke tahun.
Pada 2009, konsumsi air kemasan adalah 13 miliar liter, dan pada tahun berikutnya (2010) menjadi 14,5 miliar liter (Viva News, November 2010). Padahal, air kemasan juga bukan tidak bermasalah. Botol atau wadah plastik yang digunakan air kemasan, apabila terkena sinar matahari cukup lama, misalnya, pada saat diangkut dengan truk terbuka, akan membentuk bahan kimia Bisphenol A yang berbahaya bagi kesehatan.
Bisnis air kemasan memang menggiurkan. Cukup dengan modal Rp 200-300 juta untuk membeli peralatan pengolah air dengan proses ultrafiltrasi atau reverse osmosis, apabila bisa mempertahankan margin sebesar Rp 500 saja per dus untuk penjualan 1.000 dus sehari, seorang pemodal bisa mengharapkan modalnya kembali dalam waktu kurang dari setahun. Bisa dibayangkan besarnya keuntungan yang diperoleh para pemodal besar dan perusahaan raksasa yang menguasai bisnis air di Indonesia. Dan yang lebih menyakitkan, sebagian besar dari keuntungan itu mengalir ke kantong-kantong pengusaha dari luar negeri.
Lengkap sudah penderitaan kita. Masyarakat yang tinggal di tempat kelahirannya sendiri, di mana airnya dikenal banyak melimpah ruah, tetapi terpaksa mati kehausan karena tidak mampu membeli air yang layak minum. Pertanyaannya, apakah tepat apabila komoditas yang menjadi hajat hidup rakyat banyak, dan bahkan menentukan hidup dan matinya seseorang, dikelola secara bisnis murni? Rasanya kok tidak, tapi kita sendiri tidak sanggup menghadapinya, apalagi melawannya.
            Perkembangan yang terjadi akhir-akhir ini cukup menarik untuk diamati. Daripada menjual air dalam botol, apakah tidak sebaiknya menjual alat yang bisa menghasilkan air dengan kualitas yang sama, dengan sumber yang ada di sekitar kita? Inilah yang dilakukan beberapa pemodal yang jeli melihat peluang. Dimulai dari jenis yang canggih, dengan harga belasan sampai puluhan juta rupiah, sekarang sudah ada alat yang harganya di bawah satu juta rupiah. Tapi tetap saja masih dirasakan mahal bagi sebagian besar masyarakat, terutama apabila pengguna harus mengganti catridge secara berkala dengan harga yang tidak murah juga.
            Berangkat dari pemikiran bahwa air adalah kebutuhan dasar manusia untuk mempertahankan hidupnya dan memelihara kesehatannya, penulis berpendapat, air minum mestinya harus mudah didapat dan terjangkau oleh masyarakat dari semua lapisan, termasuk masyarakat yang kurang  mampu sekalipun. Hal ini karena sebagaimana diputuskan dalam konvensi Sidang Umum PBB pada 28 Juli 2010, air merupakan hak asasi manusia.
Idealnya, air yang dikelola dan didistribusikan oleh perusahaan-perusahaan milik daerah itulah yang mestinya menjadi pilihan. Tapi dari lebih 400 perusahaan daerah yang tersebar di 33 provinsi, termasuk perusahaan-perusahaan yang dikelola swasta dalam/luar negeri melalui kerjasama pemerintah dan swasta (KPS), yang memiliki reputasi bagus dalam pelayanan air minum kepada masyarakat kurang dari jumlah jari tangan.
Dari jumlah yang sedikit itu, tidak ada satu pun yang berani menyatakan bahwa air yang dihasilkannya dapat langsung diminum di rumah masing-masing pelanggan. Dan stigma yang sudah kuat melekat sebagai pengelola jasa pelayanan yang buruk, sangat sulit untuk dihilangkan. Dengan setumpuk masalah utang dan kebocoran yang tinggi, serta cakupan pelayanan yang masih terbatas, pengelola jasa pelayanan masyarakat ini dibuat tidak berdaya. Inilah kenyataan pahit yang mau tidak mau harus kita hadapi.
Penggunaan Saringan Keramik
Sampai kapan kita harus menunggu hingga perusahaan-perusahaan milik daerah itu menjadi lebih baik kinerjanya untuk bisa memproduksi dan mendistribusikan air layak minum? Sanggupkah kita menunggu sementara kerongkongan kita mengering kehausan? Tentu tidak. Kita harus berbuat sesuatu. Hegemoni raksasa bisnis air kemasan ini harus kita lawan. Tidak secara frontal tentu saja, tapi dengan membangun kesadaran bahwa air adalah kebutuhan dasar yang telah menjadi hak asasi manusia, dan seharusnya tidak dikomersialkan.
Sebenarnya kita punya pilihan lain selain menggunakan air kemasan. Salah satu pilihan yang sedang penulis gagas dan tekuni adalah penggunaan saringan keramik sebagai alat pengolah air tingkat rumah tangga, atau yang oleh kalangan akademisi dan para peneliti dikenal sebagai point-of-use treatment.     
Sejak 2008, penulis mulai mempelajari, meneliti dan kemudian mencoba memproduksi saringan keramik. Ternyata tidak terlalu sulit untuk membuatnya. Saringan keramik adalah teknologi pengolahan air yang sudah dikenal sejak lama. Tahun 1827, Henry Doulton, pewaris pabrik keramik dari ayah dan kakek buyutnya mencoba membuat saringan yang terbuat dari lempung untuk mengolah air sungai Thames di London yang tercemar berat. Ternyata hasilnya sangat menggembirakan. Saringan keramik buatannya bisa menghilangkan bakteri penyebab penyakit perut dengan efisiensi penghilangan sebesar 99,88%.
Sejak Dr. Fernando Mazariegos dari Guatemala membuat versi yang lebih sederhana pada 1981, saringan keramik kemudian dikenal sebagai teknologi yang tepat guna, dan banyak digunakan di negara-negara berkembang. Perintis saringan keramik di negara-negara berkembang di Asia, Afrika, dan Amerika Latin di antaranya adalah Ron Rivera dari Potter for Peace (PfP) dan Mickey Sampson dari Resource Development International – Cambodia (RDIC). Lembaga internasional non-pemerintah yang sampai saat ini aktif dalam mempromosikan saringan keramik antara lain adalah Potter Without Border (PwB) yang berkedudukan di Kanada.
             Lempung dan sekam padi adalah bahan dasar untuk membuat saringan keramik. Lempung banyak terdapat di Indonesia, demikian pula halnya dengan sekam padi. Semuanya ada di sini. Dengan sedikit sentuhan teknologi, serta ketekunan dalam melakukan uji coba, saringan keramik bisa dibuat oleh siapa saja. Dengan menggunakan rancangan dari RDIC, penulis membuat saringan keramik pada tahun 2008.
Dari pengalaman penulis memproduksi saringan keramik, diperlukan modal dasar sekitar Rp 200 sampai 250 juta untuk membuat pabriknya. Saringan keramik yang penulis produksi dijual dengan harga Rp 150 ribu untuk tipe Basic, dan Rp 250 ribu untuk tipe Superior. Dengan marjin sebesar Rp 50 – 100 ribu per unit untuk penjualan 500 unit per bulan, modal sudah bisa kembali dalam beberapa tahun saja.
Dari perhitungan di atas kertas, bisnis ini memang tampak menarik, tapi bukan berarti tanpa kendala. Kendala yang pertama dan paling utama adalah kepercayaan masyarakat terhadap produk dalam negeri. Dengan menggunakan bahan lokal dan teknologi tepat guna, serta dengan harganya yang relatif murah, masyarakat masih belum terlalu percaya bahwa alat sederhana ini, tanpa menggunakan listrik dan tanpa media penyaring, ternyata bisa menghasilkan air layak minum. Kendala ini mestinya bisa diatasi dengan memperkenalkan produk, dengan segala kelebihan (dan kekurangannya), kepada masyarakat luas.
Penulis merasa bersyukur dan berterimakasih kepada Yayasan Inovasi Teknologi (Inotek – www.inotek.org), karena dengan bantuan hibah yang mereka telah berikan, produk saringan keramik, yang penulis beri nama Tirta Cupumanik (TCM) sudah mulai dikenal orang, meskipun masih terbatas di Jakarta dan sekitarnya.
Kendala yang kedua adalah masalah pengangkutan. Saringan ini terbuat dari keramik yang rentan pecah dan rawan untuk dikirim ke tempat yang jauh. Untuk mengatasi kendala ini, franchising merupakan cara yang paling tepat. Dengan sistem franchising, pemodal di daerah yang memiliki potensi lempung dapat membuat pabriknya di tempat, dengan sistem bagi hasil. Pemodal akan mendapatkan teknologi yang diperlukan, dengan membayar  fee yang didapatkan dari marjin keuntungan. Bantuan teknologi diperlukan untuk menjaga kualitas produk yang dihasilkan. Penyebaran produk pembuatan saringan keramik juga akan menghidupkan sentra-sentra keramik di daerah yang pada akhirnya akan menyerap tenaga kerja setempat.
Tidak bisa dipungkiri, dengan adanya saringan keramik ini, pihak-pihak yang sudah membuka bisnis air kemasan di beberapa daerah akan merasa terganggu dan tersaingi. Tapi kita serahkan saja kepada pasar, mudah-mudahan sebagian dari mereka ada yang tertarik dan berpindah ke bisnis saringan keramik. Pembuatan saringan keramik sebagai teknologi tepat guna merupakan public domain yang termasuk dalam paten sederhana. Yang diperlukan kedepan adalah adanya Standar Nasional Indonesia (SNI) dalam pembuatan saringan keramik, agar produknya dapat dipertanggungjawabkan secara teknis.
Tahun 2013 adalah tahun kelima sejak penulis memulai gagasan pembuatan saringan keramik TCM. Dengan produksi yang masih terbatas (sekitar 100 unit per bulan), saringan keramik TCM sudah digunakan di beberapa tempat di Jakarta dan sekitarnya, serta secara terbatas di beberapa kota di Jawa Tengah, Bali, Sumatera Barat dan NTT.
Saringan keramik sebagai alat pengolah air tingkat rumah tangga merupakan langkah kecil menghadapi hegemoni raksasa bisnis air kemasan. Diharapkan langkah kecil ini bisa menjadi langkah awal untuk satu lompatan besar ke depan, sehingga lebih banyak lagi masyarakat yang bisa memenuhi rasa dahaganya dengan cara yang mudah dan terjangkau, dan tidak lagi tergantung pada air kemasan atau air isi ulang. ***

Risyana (Ris) Sukarma, Ketua Umum Yayasan Tirta Indonesia Mandiri, penggagas dan penggiat saringan keramik untuk pengolahan air tingkat rumah tangga (rissukarma@yahoo.com). Mengelola situs: www.tirtacupumanik.com.